Assalamu'alaykum wr.wb semoga tulisan kali ini bisa bermanfaat :D
Ada sedikit sesal yang cukup mencekam, sesal mengapa aku terlahir sebagai perempuan!
“Kamu itu perempuan Nduk, cah gadis, gak usah sekolah tinggi-tinggi, apalagi sampai ke luar Sumatra. Toh, ujung-ujungnya juga kamu akan kembali ke dapur dan kasur!” Itulah jawaban keras Bapak ketika aku menyampaikan akan melanjutkan kuliah S2 di Jawa.
Terpekur aku seorang diri di kamar mungilku. Buku-buku yang telah kupelajari semalam terasa sia-sia saja. Bagaimana tidak, cita-cita untuk belajar di Jawa kandas di tengah jalan. Bukan karena aku yang tak mampu, masih teringat jelas, selama kuliah S1 aku menjadi yang terbaik, dan ini sangat memotivasiku untuk melanjutkan ke perguruan yang lebih tinggi.
Selintas terbayang-bayang Bu Nuri, dosen yang selalu memotivasiku. Terngiang dengan jelas nasihat salah satu dosenku itu, “Kamu itu cerdas, Nak. Ibu sangat mendukung kalau kamu lanjut S2, kamu tidak akan kesulitan menjalaninya. Apalagi kamu perempuan, secara psikis kamu bisa lebih cerdas daripada laki-laki, dan memang kamu harus cerdas karena kamu akan mendidik anak-nakmu. Jangan pernah takut tentang jodoh, apalagi pekerjaan, kamu masih sangat muda, masih banyak langkah yang bisa kamu raih.” Itulah ungkapan bijak yang kudengar dari seorang perempuan yang begitu luar biasa, yang ketika melihatnya aku yakin bahwa kelak aku bisa meraih cita-citaku dengan tidak menggeser peranku baik sebagai istri maupun ibu.
Kulewati malam-malam yang tenang di sepertiganya, kutepekurkan dalam tangis dan berontak pada pemilik diri ini. Tuhan tentu sangat adil terhadap perempuan, termasuk aku. Namun, mengapa Bapak tidak adil, mengapa aku tidak diizinkan kuliah ke luar, sedangkan aku lihat teman-temanku di pulau seberang sana banyak yang bisa kuliah di tempat yang jauh dari keluarga. Seringkali kubertanya, apakah aku tidak mampu menjadi mandiri, ataukah memang kodratku harus berkubang sendiri mengunci diri dalam rumah. Apalagi niatku ke luar adalah untuk mencari ilmu, sering ku bertanya apakah ada yang salah dengan pilihanku ini? Apakah kami, para perempuan ini akan selalu begini, berkutat dalam tempurung sendiri? Bagaimana aku dapat melihat bintang yang terang atau indahnya pantai apalagi tingginya gunung jika aku tetap berada dalam kurungan ini? Ada berontak yang teramat kuat, ada keirian yang teramat panas, jika seorang laki-laki bisa mencari ilmu seluas-luasnya dan sejauh-jauhnya, mengapa aku tidak? Bukankan mencari ilmu adalah sebuah kewajiban setiap orang, dan ini tidak membedakan apakah ia berjenis kelamin laki-laki atau perempuan?
Akhirnya, pada pagi yang sejuk, kuberanikan diri tembung mengutarakan maksudku pada Bapak. “Pak, Nia kan baru selesai S1, rasanya Nia ingin berlibur ke rumah paman di Jakarta, setelah kemarin suntuk dengan skripsi dan ujian-ujian. Bolehkah Nia mengunjungi paman dan bibi yang di Jakarta?” Aku berharap Bapak mengizinkanku kali ini. Tentu saja aku masih belum berani menatap wajah Bapak setelah seminggu kemarin beliau menidakkan keinginanku untuk kuliah ke Jawa.
Bapak akhirnya menatapku dengan senyum, mungkin sedang baik suasana hatinya di pagi ini. “Baiklah Nduk, kamu boleh sowan ke rumah pamanmu di Jakarta, sekalian nanti ada yang Bapak kasihkan untuk mereka. Kebetulan Bapak juga belum sempat ke sana dalam bulan-bulan ini. Tapi, kamu tidak boleh lama-lama. Ingatlah kamu adalah perempuan, usiamu sudah lewat 20 tahun, kamu harus memikirkan masa depanmu, pikirkan juga tentang pernikahanmu, kapan mau mengenalkan calon untuk Bapak?” Jawab Bapak sambil tersenyum lebar menahan tawanya.
Aku terdiam sejenak, tumben Bapak menyanyakan ini. “Insya Allah kalau sudah saatnya akan Nia kenalkan pada Bapak.” Jawabku dengan senyum yang tak kalah tertahan.
Esoknya aku berangkat. Sejujurnya aku pergi dengan membawa harapan yang tidak akan pernah pupus, aku harus sekolah yang tinggi. Aku harus cerdas menghadapi konflik batin di keluarga, tradisi yang penuh pengekangan ini setidaknya harus aku kuak dan tentu saja aku harus mampu membuktikan bahwa meski terlahir perempuan, aku pun bisa sekolah yang tinggi.
Aku memang ke rumah paman, tetapi aku juga sekaligus mencari pekerjaan dan ikut tes S2 di salah satu PTN di Jakarta. Secara realitas, paman dan bibi mendukungku. Wajar, mereka memiliki pemikiran yang lebih modern.
Akhirnya aku diterima di PTN tersebut, selain itu aku juga diterima di sebuah sekolah swasta sehingga memungkinkan untuk membagi waktu kuliah. Tidak cukup waktu yang lama bagiku untuk memikirkan semuanya ini, aku sudah di tanah ini, tanah yang dengan ikhlas menerima pemikiranku bahwa seorang perempuan pun bisa meraih cita-cita, tanah yang berjauhan dengan Bapak dan ibuku, mereka yang selama ini mengekangku.
“Apa Nduk! Kamu jadi kuliah di Jakarta?” Terdengar suara Bapak dari jauh.
“Iya Bapak, alhamdulillah Nia diterima di sini, Nia juga sudah mengajar di sini, insya Allah masalah biaya tidak perlu Bapak Ibu pikirkan.” Jawabku dengan tegarnya. Ini jelas berbeda dengan sikapku ketika pertama kali meminta izin, ada ketakutan penolakan di dalamnya.
“Tapi bagaimana dengan masa depanmu Nduk? Kamu kan juga harus memikirkan kalau kamu harus menikah, nanti bagaimana kalau laki-laki takut denganmu, bagaimana kamungurusi anak dan suami kalau sekarang saja kamu sudah sibuk begitu. Ingat kodratmuy,Nduk.
“Bapak, sekarang ini sudah berbeda dengan dulu, Pak. Sekarang banyak pemuda yang mengerti kalau perempuan memang bisa bekerja. Masalah urusan rumah tangga juga bisa dikomunikasikan nantinya. Insyaallah Nia tidak melupakan kodratku sebagai perempuan, Pak. Setiap orang sudah ada jodohnya masing-masing pak, Nia yakin akan ada pemuda yang mau menerima Nia. Bapak mohon doakan saja ya.” Jawabku dengan tenang.
Kudengar helaan nafas panjang Bapak dari kejauhan. “Ya sudah Nduk, kalau memang itu sudah keinginanmu. Bapak dan Ibu cuma bisa mendoakan semoga kamu berhasil.”
Hari itu akan menjadi hari terbaik dari yang kulewati, sebuah izin yang ikhlas dari Bapak. Bahkan, sebuah doa tulus darinya.
Hari itu aku menengadah ke langit. Senja di tepian pantai ini begitu sejuk. Kusapa mentari yang tersenyum padaku. Taman-taman berbunga di sekitar ini tampaknya akan memulai masa peristirahatannya. Esok, di sini akan hadir kesejukan embun, dan kelak 'kan kujemput cintaku.
Palembang, 2014..
hanya sebuah cerita fiktif biasa,untuk sebuah motivasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar